Sunday, March 25, 2012

Pindah...(Part 7)

Sebelumnya, maaf ya kalau aku terlalu sering ng-publish cerita. Ya itu terserah kalian mau baca atau ngga hehe..Jujur ini semacam kecanduan...ngga pengen berhenti sebelum ceritanya tamat. Sebenernya banyak sekali yang pengen aku bagi sama kalian... Aku selalu percaya kalau sebuah kejadian itu adalah keajaiban. I think every day is a present. Setiap hari pasti ada sebuah hadiah yang bisa kita rasakan sendiri manfaatnya atau berbagi dengan orang lain. Nah, begitu juga dengan sekarang..Sudah saatnya untuk berbagi cerita kepada kalian. Ya mungkin kalian menganggap cerita ini bohong tapi ini memang benar-benar pernah aku alami. Awalnya aku sempat menyesal dan mengeluh kepada Tuhan, kenapa aku harus mengalami hal seperti ini. Sebegitu pahit pengalaman ini tapi tidak membuat aku takut atau gimana ( ya dulu aku memang pernah sempat trauma) tapi aku bersyukur...Ini pengalaman terhebat yang pernah aku temui..


Satu minggu aku bersekolah di sini. Banyak hal-hal baru yang aku temui di sini. Aku mencoba memahami keadaan di sini. Ini benar-benar berbeda, tidak seperti sekolah-sekolah sebelumnya. Hari demi hari aku coba lalui tanpa mengeluh. Aku terus mencoba agar terus merasa nyaman. Untung saja ada Dwi...

Suatu malam, tepatnya jam 9, telepon di rumahku berbunyi. Waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk tidur. Bi Rum, tanteku yang mengangkatnya.

"Halo..selamat malam" suara si penelepon
"Iya Selamat Malam, mau bicara dengan siapa?" tanya tante ku
"Bisa bicara dengan Nisa?"

Tiba-tiba Bi Rum memanggilku.."Kak..Kakak..ini ada telepon, tapi logatnya batak"
Ketika aku menempelkan gagang telepon ke telinga hanya terdengar suara "Tut.. Tut... Tut.."
Kok aneh yaa..Aku pensaran sekali siapa yang meneleponku malam-malam begini. Rasa pensaranku hilang karena mata sudah sangat ngantuk.


Keesokan paginya di sekolah..
Aku sudah duduk di bangkuku. Tiba-tiba Boy masuk ke kelas sambil berteriak " Siapa yang nomor teleponnya 22517.."
Aku masih terdiam tidak begitu memperhatikan. Tapi nomor telepon itu menyita perhatianku. Segera aku membuka catatan nomor telepon. Dan benar saja itu nomor telepon rumahku. Aku tetap mencoba diam.
Berulang-ulang Boy menyebutkan nomor itu sambil tersenyum kepadaku.
Lama-lama aku kesal dan berdiri
"Hei, kenapa kamu bisa tau nomor itu?!?!?" tanyaku kesal
"Oh itu nomor kau ya? Hahahaha" Boy tertawa puas
Ingin sekali mencoba melawan tapi aku terlalu takut. Untuk kesekian kalinya.. Ya Allah bantu aku..

Saat istirahat aku bercerita ke Dwi. Ternyata Dwi mengalami hal yang sama. Tapi dia ditelepon ke nomor hp. Aku dan Dwi merasa kesal sekali. Percuma melawan mereka yang keras kepala dan ingin menang sendiri.

Hampir setiap hari, tiap menit, tiap jam Boy menelepon ke rumah. Tapi setiap di angkat langsung di tutup. Ternyata Taufiq juga ikut-ikutan menelepon. Pernah waktu hari minggu, mereka berkali-kali menelepon.
" Udah berhenti ! jangan telepon-telepon terus..Taufiq!" kataku nyaris menangis karena tidak tahan.
Ayah bertanya kepadaku " Kak siapa yang menelepon?"
" Ngga tau Yah, suaranya berisik ngga kedengeran"
"Ngga tau Yah salah sambung"
 Seperti itulah aku sering berpura-pura. Kebetulan memang sering banyak telepon salah sambung ke rumah.
 Kenapa mereka bisa tahu nomor telepon rumah ini ? Ohiya ini kan rumah dinas..Pasti du buku kuning tebal itu ada nomor telepon rumah ini.

Hari Senin, aku dan Dwi mengadu ke Ibu Hutagalung (ya anak SD masih polos). Kami ceritakan semuanya. Kemudian Boy dan Taufiq dipanggil
"Boy! Taufiq! Kemari kau! Mengapa kau menelepon-menelepon Nisa dan Dwi?" tanya Bu Hutagalung
"Ndak ada bu..ndak ada, kami idak  nelepon dia..bohongnya dia tuh, ibu dak pecaya kami? jawab Boy dengan tatapan marah kepada aku dan Dwi.
Kemudian Boy mendorong kami berdua dan pergi berlari. Setelah diselidiki-selidiki, anak-anak laki-laki kelasku kebanyakan anak Pasar Belakang, yang dikenal ya kurang baik.
Semenjak kejadian mengadu itu, Boy, Taufiq dan beserta gengnya semakin memperlihatkan rasa benci kepada kami berdua.
Setiap ada telepon berbunyi, jantung langsung berdegup kencang..karena selalu teringat dengan teror telepon. Setiap pulang sekolah aku menangis di kamar sampai rasanya sesak. Ya Allah kuatkan aku...

No comments:

Post a Comment